"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Rabu, 22 Januari 2014

Dalam sebuah desain baju, kami mengemas isu pendidikan yang berlaku sekarang dalam sebentuk modifikasi kata. SIKULAISME. Paduan dari kata sikula (bahasa Aceh yang dalam lakap Indonesia berarti sekolah) dan isme. Untuk kata ini, kami terjemahkan secara gamblang maksudnya dalam kalimat yang kami pampang di bagian punggung kaos, yaitu: "Jak Sikula Manyang-manyang, Bukah Pingan Laba Hana. Woe u Gampong Yue Jak u Blang, Peu Piasan Rumoh Sikula."

Itu kalimat berbahasa Aceh yang jika diindonesiakan menjadi; "Bersekolah tinggi-tinggi, pecah piring-gelas nihil untungnya. Pulang kampung garap sawah kembali, inilah kisah pendidikan kita."

Dasarnya kami tak sedang menertawakan pekerjaan membajak sawah yang digeluti oleh hampir semua orang tua kita di kampung-kampung. Tapi kalimat "woe u gampong yu jak u blang" adalah kiasan bagi fakta kurangnya kreatifitas para lulusan pendidikan tinggi dalam membangun lapangan kerja baru.

Diakui atau tidak, pendidikan hari ini hanya mencetak sifat pragmatis bagi hampir semua para lulusan. Mereka masih menganggap diri sebagai pengangguran terkutuk jika belum tembus jadi pegawai pemerintahan. Celakanya hal ini diperparah lagi oleh anggapan komunal masyarakat yang berprinsip bahwa kantor pemerintahan adalah satu tempat utama yang menjamin damainya hidup di dunia dari segi materi. Maka tak heran jika kita temukan satu keluarga besar berkumpul di satu instansi pemerintahan. Paman sebagai kepala bagian, keponakan di bagian staf, dan sepupunya jadi pegawai honor atau kontrakan.

Lalu, para lulusan lain yang tak kebagian tempat merasa diri sebagai seorang luntang-lantung yang tak jelas juntrungan. Harapan hanya berfokus pada jadwal penerimaan pegawai negeri baru yang setiap tahun disambut antrian panjang para sarjana-sarjani kita. Lapak pekerjaan yang tersedia di luar ruang kantoran dianggap sebelah mata. Sarjana yang telah disandang seolah-olah jadi semacam alat penguat gengsi untuk bekerja serabutan. Sialnya, umur semakin bertambah dan jatah ngutang di beberapa warungkopi sudah benar-benar berkurang.

Sebagai ending, barangkali perkataan Pramoedya Ananta Toer bisa dijadikan bahan pendalaman pikiran walau redaksinya sedikit provokatif. Katanya, "Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya."

Wassalamu.[]

1 komentar: