"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Senin, 05 Mei 2014


Bahwa kita masih sanggup bersuara atas ketimpangan-ketimpangan sosial yang terus menjalar dalam masyarakat adalah benar adanya. Bahwa suara-suara yang kita sampaikan tidak harus dengan menggerakkan pita suara hingga ceumiriek rungguek adalah benar adanya. Bahwa ada banyak media-media alternatif agar suara tersampaikan pada yang dituju juga benar adanya, adalah celah lain yang dipergunakan Geulanceng sebagai usaha menjadi 'wakil rakyat' di luar ‘wewakil resmi’. Bahwa wewakil rakyat yang telah kita utus, kelak, hanya mengongkang-ongkangkan kaki saja adalah perihal yang telah diprediksi sebelumnya, adalah alasan terkuat kenapa kita merasa penting untuk mewakilkan diri sendiri di ruang-ruang publik.

Keterwakilan sejati adalah manakala kau tidak perlu sibuk-sibuk mengganggu ketertiban umum dengan marah-marah di warung kopi karena tindak nepotis para birokrat sehingga kau kehilangan tempat di kantor mereka sebagai seorang pegawainya. Untuk mewakilkan diri oleh sebab orang-orang yang kita utus sebelumnya telah bertindak khianat, kau juga tak mesti kalap dengan melakukan tindak kriminal seperti melemparkan batu ke atap rumah mereka atau melakukan aksi tak elok seperti peu bocho bhan moto kepunyaan si pengkhianat. Ini tentu saja perbuatan cela, walau pun dalam konsep perlawanan paling purba dunia berlaku: darah dibayar darah, gigi dibayar gigi, dan seterusnya.

Geulanceng telah memproduksi satu kaos untuk memungkinkan para pemakainya bisa mewakilkan diri terhadap pelbagai perlakuan menimpang (pengkhianatan) para wakil rakyat –ini juga berlaku kepada para pengkhianat rakyat lainnya– yang telah kita utus. Dengan kaos ini seseorang tak perlu melakukan perbuatan tak terpuji seperti disebutkan sebelumnya sebagai bentuk perlawanan atas segala ketimpangan.

Cukup dengan menyandarkan punggung dengan santainya seraya memainkan batang rokok di jemari sambil sedikit membusungkan dada untuk menonjolkan tulisan di kaos yang bertulis: "Duek di kanto baca koran. Buet pih tan, gaji jih raya," adalah salah satu usaha mewakilkan diri kita sendiri dengan cara yang bijak tanpa harus menguras tenaga hingga berkucuran keringat. Tanpa harus bertindak anarkis yang akan melahirkan banyak umpat. 

Menyerahkan suara secara mentah-mentah pada orang-orang di legislatif untuk kemudian diracik sedemikian rupa dalam memudahkan partai mendapat persetujuan majelis adalah kesia-siaan yang kita ulang-ulang dari dulu hingga sekarang. Dengan alasan yang terkadang amat teoritis dan butuh beberapa jam dijabarkan, ‘suara’ kita adalah nafas. Seberapa pun busuk baunya, tetap bermanfaat bagi mereka yang berminat menikmati sensasi sebagai anggota legislator. Kemudian ‘suara’ kita yang bak nafas itu kian larut dalam tarik ulur kepentingan partai dalam gedung parlemen. Tapi setelah suara-suara kita diraup dalam pesta lima tahun sekali itu, lihatlah! Adakah kesejahteraan dan keadilan kita terima dari mereka yang mendulang suara kita itu? Sampai sekarang kita bisa menjawabnya dengan kata tidak. Tidak ada kesejahteraan, dan tidak ada pula keadilan. Yang ada hanyalah pemanfaatan ruang-ruang kantoran sebagai tempat paling asik baca koran pagi dan jep kupi sikhan oleh orang-orang yang telah kita dapuk ke kursi-kursi empuk gedung perwakilan.[]

1 komentar: