Kemarin, nyalak senjata bagi kami adalah amsal gaduh isi rumah tangga yang sedang rebutan sepotong tempe di meja makan siang. Itu tidak jadi soal selama masih
tidak mengganggu 'bobo' siang penyelenggara pemerintahan. Beberapa
tahun lalu, gelombang raya yang kedatangannya kita sambut dengan pekik
'puji-pujian untuk Tuhan', juga ratap tangis mengharus biru, adalah obat bagi mulut dan hati kami untuk
tidak terlambat lagi sadar. Bahwa kita masih saja pura-pura ngantuk
setelah bangun dari tidur panjang.
Maka, Geulanceng kami jadikan pengunci ingatan di halaman rumah yang rimbun permasalahan. Seperti tentang nganga dan pedihnya luka kami. Persoalan emosi yang disumpal moncong senjata. Tentang kuasa-kuasa nyeleneh. Tentang suara-suara dari bawah yang selamanya terpendam di bawah dan tak pernah sampai ke tingkat atas.
Jangan ke majelis atau dewan kalau hendak memberitakan sesal atau sakit hati kolektif. Khanduri kekuasaan telah lama bubar pasca surat penuh tandatangan terbit dari negeri orang kulit putih. Sekarang kesibukan menjalar ke loket-loket penerimaan pegawai rendahan di kantor-kantor super sibuk jelang akhir tahun.
Ada cara tersendiri memulihkan penyakit. Tak sekadar harus bersugesti minum obat yang kerap mengandung efek samping berdasar resep tabib yang setelah berkunjung ke tabib-tabib inilah, tetangga kami berkomentar, "Memulihkan sakit malah menyakitkan perasaan. Harga sakit murah, tapi obatnya keterlaluan mahal."
Jangan coba-coba sakit hati dengan sifat paling primitif di sini. Berteriak-teriak di jalan dianggap kurang kerjaan. Mementaskan sesuatu yang brutal di panggung kesenian bisa saja dituduh mengganggu ketertiban. Buku-buku tak segan-segan dibakar untuk dalih yang tak masuk akal. Yang tinggal hanya buku pelajaran buat anak-anak kita yang masih mengeja kalimat tentang kehidupan. Disumpal mulut mereka dengan informasi satu pintu. Pintu yang menurut beberapa orang ahli harus dijaga secara bengis dan brutal.
Namun tidak salah pula kalau sekolah formal menjadi tujuan. Tapi itu hanyalah sebatas untuk menuntut ilmu dan jangan menuntut keadilan. Sebab di sana, keadilan bagai tongkat yang dipergunakan untuk mengusir ayam yang nyelonong tanpa permisi ke kandang orang.
Sampai sekarang Geulanceng masih bisa berbicara dengan mulut diperban, mengirimkan 'sinyal-sinyal dua kutub positif-negatif dari ide liar' pikiran-pikiran peka tatanan sosial sebuah negeri ujung negara bernama Republik Indonesia.
Maka, Geulanceng kami jadikan pengunci ingatan di halaman rumah yang rimbun permasalahan. Seperti tentang nganga dan pedihnya luka kami. Persoalan emosi yang disumpal moncong senjata. Tentang kuasa-kuasa nyeleneh. Tentang suara-suara dari bawah yang selamanya terpendam di bawah dan tak pernah sampai ke tingkat atas.
Jangan ke majelis atau dewan kalau hendak memberitakan sesal atau sakit hati kolektif. Khanduri kekuasaan telah lama bubar pasca surat penuh tandatangan terbit dari negeri orang kulit putih. Sekarang kesibukan menjalar ke loket-loket penerimaan pegawai rendahan di kantor-kantor super sibuk jelang akhir tahun.
Ada cara tersendiri memulihkan penyakit. Tak sekadar harus bersugesti minum obat yang kerap mengandung efek samping berdasar resep tabib yang setelah berkunjung ke tabib-tabib inilah, tetangga kami berkomentar, "Memulihkan sakit malah menyakitkan perasaan. Harga sakit murah, tapi obatnya keterlaluan mahal."
Jangan coba-coba sakit hati dengan sifat paling primitif di sini. Berteriak-teriak di jalan dianggap kurang kerjaan. Mementaskan sesuatu yang brutal di panggung kesenian bisa saja dituduh mengganggu ketertiban. Buku-buku tak segan-segan dibakar untuk dalih yang tak masuk akal. Yang tinggal hanya buku pelajaran buat anak-anak kita yang masih mengeja kalimat tentang kehidupan. Disumpal mulut mereka dengan informasi satu pintu. Pintu yang menurut beberapa orang ahli harus dijaga secara bengis dan brutal.
Namun tidak salah pula kalau sekolah formal menjadi tujuan. Tapi itu hanyalah sebatas untuk menuntut ilmu dan jangan menuntut keadilan. Sebab di sana, keadilan bagai tongkat yang dipergunakan untuk mengusir ayam yang nyelonong tanpa permisi ke kandang orang.
Sampai sekarang Geulanceng masih bisa berbicara dengan mulut diperban, mengirimkan 'sinyal-sinyal dua kutub positif-negatif dari ide liar' pikiran-pikiran peka tatanan sosial sebuah negeri ujung negara bernama Republik Indonesia.
Thank you, your article is very good
BalasHapusviagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta