"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Jumat, 22 Agustus 2014

Kemarin, nyalak senjata bagi kami adalah amsal gaduh isi rumah tangga yang sedang rebutan sepotong tempe di meja makan siang. Itu tidak jadi soal selama masih tidak mengganggu 'bobo' siang penyelenggara pemerintahan. Beberapa tahun lalu, gelombang raya yang kedatangannya kita sambut dengan pekik 'puji-pujian untuk Tuhan', juga ratap tangis mengharus biru, adalah obat bagi mulut dan hati kami untuk tidak terlambat lagi sadar. Bahwa kita masih saja pura-pura ngantuk setelah bangun dari tidur panjang.

Maka, Geulanceng kami jadikan pengunci ingatan di halaman rumah yang rimbun permasalahan. Seperti tentang nganga dan pedihnya luka kami. Persoalan emosi yang disumpal moncong senjata. Tentang kuasa-kuasa nyeleneh. Tentang suara-suara dari bawah yang selamanya terpendam di bawah dan tak pernah sampai ke tingkat atas.

Jangan ke majelis atau dewan kalau hendak memberitakan sesal atau sakit hati kolektif. Khanduri kekuasaan telah lama bubar pasca surat penuh tandatangan terbit dari negeri orang kulit putih. Sekarang kesibukan menjalar ke loket-loket penerimaan pegawai rendahan di kantor-kantor super sibuk jelang akhir tahun. 

Ada cara tersendiri memulihkan penyakit. Tak sekadar harus bersugesti minum obat yang kerap mengandung efek samping berdasar resep tabib yang setelah berkunjung ke tabib-tabib inilah, tetangga kami berkomentar, "Memulihkan sakit malah menyakitkan perasaan. Harga sakit murah, tapi obatnya keterlaluan mahal."

Jangan coba-coba sakit hati dengan sifat paling primitif di sini. Berteriak-teriak di jalan dianggap kurang kerjaan. Mementaskan sesuatu yang brutal di panggung kesenian bisa saja dituduh mengganggu ketertiban. Buku-buku tak segan-segan dibakar untuk dalih yang tak masuk akal. Yang tinggal hanya buku pelajaran buat anak-anak kita yang masih mengeja kalimat tentang kehidupan. Disumpal mulut mereka dengan informasi satu pintu. Pintu yang menurut beberapa orang ahli harus dijaga secara bengis dan brutal. 


Namun tidak salah pula kalau sekolah formal menjadi tujuan. Tapi itu hanyalah sebatas untuk menuntut ilmu dan jangan menuntut keadilan. Sebab di sana, keadilan bagai tongkat yang dipergunakan untuk mengusir ayam yang nyelonong tanpa permisi ke kandang orang.

Sampai sekarang Geulanceng masih bisa berbicara dengan mulut diperban, mengirimkan 'sinyal-sinyal dua kutub positif-negatif dari ide liar' pikiran-pikiran peka tatanan sosial sebuah negeri ujung negara bernama Republik Indonesia.

1 komentar: