"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Senin, 01 Desember 2014

'diperdaya'. by Idrus bin Harun
Mendengar kata 'tipu Aceh', mungkin, bagi sebagian orang luar sama halnya seperti mendengar kata Maop (hantu). Tak ada pembuktian yang jelas-jelas mampu menghadirkan bentuk nyata. Tipu Aceh terkenal bisa saja lewat halusnya cara Teuku Umar dan gerombolannya memperdayai Belanda suatu kala. Tapi apakah keberpihakan Teuku Umar yang temporer itu dan kemudian kembali balik menyerang Belanda adalah pure usaha memperdayai tadi? Wallahu'alam. 

Selebihnya, 'tipu Aceh' bisa dibuktikan lewat bagaimana cara pasukan Aceh mampu bertahan dalam perang maha panjang menghadapi negara sekelas Belanda zaman kolonialis dulu. Hingga dalam banyak riwayat disebutkan bangsa kulit putih itu mengalami sengsara secara ekonomi karena terlalu fokus menggelontorkan pundi uangnya semata-mata untuk Perang Aceh. Tapi nyatanya mereka harus angkat kaki juga akhirnya. 

Belanda yang kolonial boleh hengkang dari sini (Aceh). Namun, melihat Aceh hari ini kita tahu bahwa kolonialisasi belum benar-benar khatam. Seperti terlihat tak akan ada yang ikhlas menamatkannya. Aceh dalam kolonialisasi bak cerita bersambung dengan plot yang rumit dan tokoh yang berganti-ganti. Tak heran orang-orang kecil yang tak tahu menahu apa itu kolonialisasi terus mengadu untung dan detak jantung dalam masa suram konflik yang terjadi di hampir setiap zaman. Mulai dari zaman kerajaan dengan identifikasi tokoh jahat seperti Raja Siujud, penjajahan, kemerdekaan, hingga zaman canggih sekarang.

Merujuk kepada arti di kamus-kamus, kolonial itu jahat. Kata ini berkait erat dengan sifat menjajah atawa sifat laknat lainnya yang ujung-ujungnya mencari keuntungan pribadi, kelompok, dengan berbagai cara. Sekali pun dengan cara berdiri dan mengangkang di atas punggung penderitaan orang lain. Dalam konteks keacehan, kolonialisasi akan terasa sangat terkutuk ketika dilakukan oleh orang Aceh yang paham betul memainkan 'tipu Aceh'. Dan akan terasa lebih-lebih terkutuk lagi ketika peran kolonialisasi yang telah berpadu padan dengan 'tipu Aceh' kelak memakan korban orang Aceh sendiri.

Atas kondisi yang mengenaskan ini, kita tak bisa menuding si Ini, si Itu atau si Anu sebagai kolonialis kontemporer yang dimaksud. Sama sekali tidak. Kecuali atas setiap peristiwa-peristiwa sosial politik yang tak masuk akal masa kini, kita berinisiatif mengingatkan diri sendiri bahwa; Aceh adalah ingatan yang harus kita arsipkan selalu. Kita arsipkan terus menerus, teratur dan rapi. Agar kelak anak-anak kita tahu bahwa sebelum mereka hadir, ada generasi-generasi yang hobinya kompromistis dan sikap politiknya kelihatan jenaka di depan publik tapi sangat berbahaya di belakangnya. Dari arsip-arsip itu setidaknya kita sudah mengingatkan mereka, anak-anak kita di generasi selanjutnya, untuk tidak perlu tersenyum dengan ulah endatunya yang sama sekali bukan pelawak itu.[]









0 komentar:

Posting Komentar