"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Rabu, 11 September 2013

Bajee (boleh baca: baju) Geulanceng hadir saat tiga orang muda di Banda Aceh sepakat miris pada realita hidup hampir semua muda-mudi asli Aceh di kota yang semakin hilang identitas keacehannya. Ini sekitar akhir tahun 2010. Saat itu, hampir di seluruh warungkopi penuh dengan muda-mudi yang agak enggan bicara dengan bahasa ibunya sendiri. Bahasa Aceh, Gayo, Kluet, dan lain sebagainya. Bahasa ini tergantikan dengan bahasa Indonesia, yang memang sudah selayaknya bisa dipakai di seluruh pelosok ini negara. NKRI. 

Tapi kenyataan orang-orang sesama daerah yang agak enggan menggunakan bahasa daerahnya pada tahun-tahun gencarnya rehab-rekon paska smong surut menjadi awal kegelisahan tiga orang muda untuk mengampanyekan penggunaan bahasa Aceh sesama orang Aceh adalah niscaya. Beranjak sama pikiran, sekitar Desember 2010 diputuskanlah kampanye yang dimaksud memakai media kaos yang didesain sedemikian rupa dengan penguasaan ilmu desain grafis dan penyablonan didapat secara otodidak + nekad. 

Hasil rembuk pikir lahirlah desain yang menoreh kalimat: SUMPAH, LON JEUT BASA ACEH, dengan tagline ngaku aneuk nanggroe, peugah haba meugeulido. Lantas, desain kalimat ini ditunjukkan pada beberapa teman lain dengan respon yang mampu membuat tiga orang muda pencetus tambah tinggi semangat. Sebagai kelanjutan aksi, kumpul uang (lupa berapa seorang), beli screen sablon, kumpul baju masing-masing, print desain untuk film sablon, kemudian nekad sablon sendiri. Nekad ini bisa dikatakan mengelak dibilang miskin karena tak sanggup ngasih desain ke percetakan profesional yang ada bejibun banyaknya di Banda Aceh. 

Walau pun masih kekurangan sana-sini, akhirnya kaos bertulis kata sumpah itu pun jadi. Disablon dan dikonsumsi untuk kalangan pribadi. Waktu itu ada sekitar 6 orang yang memakai berdesain kalimat pengukuh identitas berbahasa Aceh sesama pribumi itu. 

Tak lama baju ini dipakai oleh 6 orang yang kesehariannya berbaur dengan berbagai muda-mudi lintas komunitas, desain baju ini cukup mencuri perhatian banyak kalangan, khususnya yang punya pemikiran miris seperti diungkapkan pada paragraf pertama. Maka datanglah pemesanan, atau pertanyaan, "Hai pat kabloe bajee lagee nyan?" "Cetak keudroe? Na kapeubloe? Kacetak keu lon saboh, bah kujok peng jinoe?" "Padup yum, padup yum?" Begitulah.

Melihat antusiasnya teman-teman lintas komunitas, lintas meja warungkopi, dan juga lintas kampus, tiga orang muda pencetus pertama kembali berembuk. "Ini prospek bisnis," sebut salah satu. "Ya, kita bisa keluarin ide-ide liar kita untuk mencetak baju-baju khas Aceh," sambut yang satu. "Aku pikir, kalau pertama sudah langsung bernada serangan, kita bisa kuatkan ide-ide liar kita khusus untuk membicarakan Aceh apa adanya, blak-blakan sesuai konteks sekarang. Gimana?" kata yang satu lagi. 

"Mantap nyan!" jawab dua orang di antaranya serempak. "Tapi kita mesti punya nama," ujar orang muda yang pertama buka suara bilang ini prospek bisnis. "Kasih saja nama Geulanceng," jawab yang sebelumnya ngomong blak-blakan. "Ya sudah. Yang penting kita siapkan materi desain lain dulu, nama itu bereh juga kayaknya," timpal orang muda yang ingin cetak baju-baju khas Aceh.

Obrolan ini terjadi tanggal 30 Desember 2010, dan Geulanceng lahir sehari setelahnya saat Banda Aceh sudah mulai bising dengan pro kontra boleh tidaknya perayaan tahun baru masehi di kalangan orang-orang tua. Juga ketika Banda Aceh ramai dengan wajah berseri-seri hampir semua orang-orang muda yang sudah punya jadwal mau merayakan tahun baru kemana, sama siapa, dan dengan cara apa. Begitulah Geulanceng pertama sekali ada.
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar