"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Selasa, 24 Desember 2013


Lepas konflik yang pernah mendera kampung selama beberapa dasawarsa silam pelbagai kenangan dengan sendirinya tersimpan rapi di alam bawah sadar. Bicara konflik, kenangan kelam adalah perihal paling dominan dari semua yang bersisa. Tapi bagi kami, walau semua yang kelam tak patut untuk dilupa begitu saja, akan menguras banyak sekali energi jika ianya selalu diumbar-umbar sedemikian rupa hingga menghabiskan berceret-ceret kopi Ulee Kareng ketika dibicarakan di meja-meja warungkopi. Jika sudah begini, kebanyakan perokok berat akan tahu akibatnya: Bahwa sebungkus dua bungkus rokok tak akan cukup (mampu) untuk mengimbangi tema obrolan dan pahitnya rasa kopi.

Lantas, setelah sadar, bahwa mengingat-ngingat kekelaman masa silam adalah perbuatan yang cukup menguras tenaga lahir batin seorang manusia, Geulanceng menyesuaikan kesadaran ini untuk menggali kenangan-kenangan lain. Yaitu kenangan-kenangan yang ketika dibicarakan menumbuhkan sungging senyum bagi si pencerita sendiri, bagi pendengar atau bagi orang lain yang secara kebetulan mencuri dengar sebab kenangan ini pernah mereka alami pada masa-masa getir dahulu. 

Namun di samping sungging senyum yang diharapkan lahir dari sebuah penggalian kenangan, sebagaimana Tan Malaka tulis dalam Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925, “Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawa kelahirannya,” pemikiran baru beranjak dari pengalaman derita yang pernah dialami masa dahulu adalah sebuah keniscayaan. Kalau tidak, maka pantaslah orang lain menyebutnya sebagai seorang dungu.  

Sampai di taraf ini, Geulanceng menyadari konflik telah banyak melahirkan hal-hal baru dalam segala ranah kehidupan. Dalam konteks konflik yang pernah seantero negeri alami, idiom-idiom serupa Sibak Rukok Teuk dan Radio Meu Igoe adalah bagian kecil yang sebelumnya jarang dikenal atau bahkan tidak ada sama sekali. Maka dalam nuansa damai seperti yang sedang kita jalani ini, pemanfaatan idiom-idiom tersebut untuk diangkat kembali keberadaannya dalam media kaos adalah usaha untuk menumbuhkembangkan pikiran lepas penatnya jiwa raga akibat penderitaan.
doc. pribadi Doel CP Allisah
Boleh jadi, Geulanceng berusaha membumikan idiom-idiom ini kembali dengan catatan maknanya bisa disesuaikan dengan konteks zaman sekarang. Katakanlah jika dulu idiom Sibak Rukok Teuk keluar dari mulut-mulut para kombatan untuk meyakinkan orang kampung tentang keberhasilan perjuangan dari hutan ke hutan, sekarang idiom ini bisa dimaknai sebagai keyword untuk memicu sifat pantang menyerah dalam berusaha. Boleh jadi dalam usaha mengejar seorang calon istri, tapi memungkinkan pula dipakai oleh seorang suami untuk meyakinkan sang istri tentang lobi pekerjaannya di sebuah institusi, dimana untuk melicinkan lobi mahar yang telah menjadi hak penuh istri ditarik kembali.

Begitu pun dengan idiom Radio Meu Igoe, misalnya. Ini idiom sedikit banyaknya menjelaskan bagaimana alam berpikir kolektif orang-orang di zaman konflik tak mudah percaya pada sebuah berita tanpa dasar faktanya. Dengan bijak orang-orang yang pernah hidup di zaman ini bisa mengklasifikasikan mana kabar yang bisa dipercaya dan mana pula berita yang dibuat berdasarkan bualan belaka. Untuk menyederhanakan rupa kabar yang disebutkan terakhir, keluarlah serupa lakap, “Nyan haba radio meu igoe kadang!”[]

1 komentar: