Ini zaman perang telah usai, saudara-saudara!!!
Saat
rincong kita sarungkan kembali atas kesadaran sesadar-sadarnya. Untuk
meminimalisasi kepiluan yatim piatu dan janda-janda. Saat hikayat Prang
Sabi kita nyanyikan untuk membunuh sepi. Bukan untuk mengusir penjajah
yang telah menjarah apa-apa yang telah kita pertaruhkan, kita jaga, kita
hiro satoh si umu masa. Saat itulah kesadaran kita akan tergerus oleh
luapan euforia damai. Hingga kita kembali bergumul dalam
keinginan-keinginan dan hawa nafsu tak berkesudahan. Kita sekalian
berhamburan dalam politik ekonomi yang rakus.
Masa lalu telah jauh. Tsunami
telah pergi. Rentet M-16, SS-1 atau AK-47 sekalipun tinggal kenangan sebagai musik paling menyayat
dalam orkestra kematian yang tiada dua. Kita harus ke depan menjemput
apa-apa yang telah lama kita impikan. Kemerdekaan dalam bentuk lain
barangkali. Kemerdekaan yang tak kita dapati di tanah lain selain Aceh.
Ini zaman tak ada lagi perang, saudara-saudara!!!
Kupi-kupi
dipanasi. Timphan dihidangkan bagi mereka yang pulang dari perang. Shalawat badar dilantunkan dari desa hingga lam kuta. Anak-anak
bergembira. "Pat ujeuen njang hana pirang, pat prang njang hana reuda."
***
Geulanceng
hadir tidak dalam rangka menawarkan solusi. Pada titik ini kami hadir
sebagai wakilah saudara-saudara sekalian yang seiman. Yang masih yakin
akan keberadaan Tuhan dan yakin akan suara rakyat. Suara-suara yang
pernah dibungkam, disumpal bedil dan uang rupiah. Sekali lagi, kami
hadir bukan sebagai anggota dewan yang konon penyambung lidah rakyat. Atau katakanlah parlemen jalanan.Y ang kami suarakan kebanyakan lahir dari lubuk hati saudara-saudara. Yang jauh lebih cerdas dalam membuat metafor-metafor meskipun dari
realitas-realitas absurd sekali pun. Bahkan dalam situasi terjepit.
Masyarakatlah yang pada akhirnya menjadi tempat kami bersumber dalam
menelurkan ide-ide politis yang hampir tidak mungkin kami suarakan dalam
masa asap dan kematian membubung di tanoh endatu.
Geulanceng hanya
menarik kesimpulan atas perilaku kurang waras orang-orang di atas kita. Atas perilaku kita sendiri yang kadang di luar kendali. Semacam tabiat meuseunoh bu kulah, 'oh prang ka reuda.
Kami
bukan moralis yang menebarkan ajaran-ajaran bagaimana menjaga perasaan
orang lain. Sementara perasaan sendiri hancur lebur. Ajaran tentang
bagaimana berupaya menjaga damai. Sementara, antar kita sendiri
dipanas-panasi agar berkelahi. Tidak. Sekali lagi tidak.
Kami
generasi Geulanceng. Yang beranjak besar di tengah genangan darah, tumpukan
selonsong yang kalau dikilokan di pasar loak bisa tambah uang jajan. Yang
berusaha menahan pedih di ulu hati karena setelah tsunami harus makan
indomie atau supermie. (Sekarang tak begitu sering lagi. Paling cuma sekali-kali).
Geulanceng bukan spesies yang menebar kebencian
dan pengacau ketertiban. Geulanceng masih taat aturan: memakai helm
dalam perjalanan, tidak buang sampah sembarangan, tapi sesekali juga mengusili teman. Dan mungkin, satu-satunya pelanggaran adalah saat makan. Kami sering
pakai tangan. Tidak pakai sendok.
Bivak Emperom, akhir tahun 2013.
Thank you, your article is very good
BalasHapusviagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta