"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Selasa, 25 Maret 2014

Lantas apakah kami akan membiarkan sejarah lalu dan hilang begitu saja dari ingatan di kepala? Tidak. Sama sekali tidak.

Sejarah yang dibiarkan lalu dan kemudian hilang adalah tabiat orang-orang dungu. Dan kami, sejak tahu baca tulis ditambah tahu cara mengaji, telah mengikrarkan diri untuk tidak dungu. Tidak dungu sejarah, tidak pula dungu dalam artian lebih luas, yang ketika dijabarkan lebih lanjut bisa disimpulkan sebagai seorang dungu sejak lahir, warisan para endatu. Tapi jika pun nanti ditemui orang-orang di antara kami yang dungu, itu hanyalah bentuk kedunguannya sendiri yang tidak bisa disangkutpautkan dengan para endatu. Sebab, endatu kami tak pernah dungu, titik!

Kami tahu, buet (kerjaan) mengorek sejarah tidak selamanya berkutat dengan soalan kegemilangan masa lalu. Tidak bisa disamakan seperti kerjaan balik ke masa lalu, lantas bertemu para moyang yang bergelimang harta, arif bijaksana, tidak sombong dan pandai menabung. Kemudian, ketika kami pulang kembali ke masa kini untuk mengambil langkah menuju masa depan, kami bisa memulainya dengan bernyanyi riang gembira, bersiul-siul ceria sebab sejarah para moyang tidak pernah melahirkan suatu rasa yang membuat burai air mata.

Kami cukup tahu, mengenali sejarah adalah sama halnya dengan mengukuhkan diri untuk berani menghadapi baik buruk dalam waktu bersamaan. Itu sudah konsekuensi. Di sini, di negeri tempat para endatu beranak pinak hingga melahirkan kami, masa lalu yang gemilang selalu dibarengi atau diikuti oleh pelbagai fakta kelam.

Damai dan perang datang silih berganti seperti sengaja terjadi dalam usaha mengukuhkan sebuah peradaban. Di mana damai paling mutakhir adalah apa yang kami rasa hari ini. Di mana sebelumnya, perang pernah bersimaharajalela dalam hitungan puluhan tahun antara anak-anak negeri dengan tentara kiriman negara.

Tapi perang manakah di dunia yang tidak berimbas pada jatuhnya korban manusia biasa? Tidak ada. Maka begitulah sejarah kami di sini. Perang terakhir yang masih bisa kami ingat-ingat adalah perang yang melahirkan rekam jejak berbagai tragedi. Rumoh Geudong, Krueng Arakundo, Beutong Ateuh, dan Simpang KKA adalah sebagian kecil dari alamat situs-situs tragedi yang hari ini telah menjadi bagian sejarah itu sendiri. Sejarah kelam yang berdarah-darah, yang ketika damai sangat patut untuk dikenang kembali agar anak-anak negeri yang tak tahu menahu tentangnya sebab lahir di tahun-tahun belakangan tidak lantas lupa diri.

Di Simpang KKA Krueng Geukeuh, Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, tragedi berdarah akibat brutalnya para tentara adalah contoh sejarah kelam yang telah merenggut nyawa masyarakat biasa. Tak tanggung-tanggung akibat aksi biadab ini, sebagaimana data yang dikeluarkan Koalisi NGO HAM, 46 masyarakat sipil meninggal dunia (7 diantaranya anak-anak), 156 orang mengalami luka tembak, dan 10 orang hilang. Tragedi pilu ini terjadi pada Senin siang, 3 Mei 1999.[]

1 komentar: