"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Sabtu, 14 Februari 2015

Peng Grik bak Hikayat paling memukau yang dimeriamkan penjajah dalam peureudee trieng sehingga para pejuang yang punya sifat kemaruk senantiasa meninggalkan pos-pos pengamanannya di hampir seluruh bibir pantai Aceh zaman dahulu, kembali terjadi terjadi pada masa sekarang. Sejarah berulang. Tidak melulu sama konteksnya tapi perulangannya hampir bisa ditebak gegara apa.

Dalam perjalanan sejarah Aceh, peng grik selalu hadir di akhir episode. Karakteristiknya yang menggoda teramat sulit ditolak untuk mempengaruhi keputusan politik, ekonomi dan hal-ihwal diplomasi Aceh - Jakarta. Peng grik selalu memenangkan permainan politik lokal yang tingkat kejenakaannya melebihi pertarungan merebut pengaruh antara Gubernur dan Wakilnya dalam beberapa bulan terakhir.  

Peng grik adalah dua kosakata bahasa Aceh bermakna uang logam. Secara bebas bisa diartikan sebagai iming-iming harta dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa lain, barangkali anda bisa mencarinya dalam kamus-kamus bahasa dunia.

Peng grik dalam urusan Aceh-Jakarta adalah obat sakit kepala sekaligus penyebab mewabahnya mumang berjamaah dalam shaf perjuangan Aceh semenjak tahun-tahun silam. Tak ada urusan yang tak dihadang peng grik di tengah perjalanan. Peng grik tak ubahnya hidangan pencuci mulut dalam ritual makan malam paling formal. Keberadaannya selalu sepaket dengan perjuangan apa pun yang mengatasnamakan rakyat. Tak percaya? Coba buat satu saja gerakan perlawanan. Urusannya bisa sangat ribet ketika perjuangan hampir-hampir mencapai klimaks. Itu tak lain sebab akan selalu ada seseorang atau lebih yang menyisihkan diri (baca: berkhianat) dari garis perjuangan sebab kemilau harta yang diam-diam diiming-imingi pihak lawan.

Perjuangan yang manifestasinya dalam bentuk perang bahkan sudah menjadi peukateuen harian bagi kita di Aceh. Dengannya kita, bangsa Aceh, menepuk dada bahwa kitalah bansa teuleubeh ateuh rueng donya yang konon katanya punya hobi perang. Tapi celakanya, istilah bansa teuleubeh tadi bukanlah lakap yang disematkan bangsa lain sebagai bentuk penghormatan kecuali hanya berupa perasaan subjektif orang-orang tempatan belaka. Untuk paragraf ini, barangkali dibutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Keadaan inilah yang mengilhami satu band indie Aceh, Amroe & Pane Band mencipta sebuah lagu. Berjudul Gara-gara Preng Grik, yang dengan lirik kritis dan satirnya mengemukakan sifat kemaruk peng grik (iming-iming harta) yang sedang mewabah telah mampu membalikkan perjuangan menjadi pengkhianatan. Lirik utuhnya dapat dibaca sebagai berikut:
 

Aceh lon tip lam thon prang
Sabe-sabe lam prang

Bangsa lon beuhee tungang
Trok u luwa dithee peujuang

Beutoi seujarah peugah
Beuhee garang juang indatu meuprang

Beutoi seujarah peugah


Aceh lon seuramoe meukah
nanggroe keuneubah ulama ngon raja

Rakyat lon teungoh mumang
Bak peutimang heut dum panglima prang

Beutoi seujarah peugah
gara-gara peng grik di tiek peujuang

Beutoi abuwa peugah
gara-gara peng grik panglima meuprang

Panglima cukop seunang
bak kursi leupon punggong nyan han leukang



1 komentar: