"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Selasa, 28 April 2015

Bahwa untuk menerjemahkan Aceh semata melalui sebuah gelanggang peperangan atau politiknya saja, tak akan sampai pada satu kesimpulan utuh yang akan merefleksikan bagaimana geliat Aceh sesungguhnya. Barangkali perihal ini telah dipahami benar oleh orang-orang Belanda dengan pengalaman peperangan panjang yang pernah dialaminya di negeri ini. Tidak cukup di gelanggang perang dan politik yang memakan korban tak terhitung jumlahnya, Belanda pernah berupaya menaklukkan Aceh di gelanggang kuliner. Puncaknya itu terjadi di Denhaag pada 2 April 1930 ketika para mantan perwira perang di Aceh, berkumpul di Ballroom De Witte dalam rangka memperingati 40 tahun berdirinya 'kesatuan bengis' Korps Marsose Aceh. De Witte, sebagaimana disebutkan Zentgraaff dalam bukunya adalah istilah Belanda untuk menunjukkan sebuah kampung di Aceh Rayeuk yang bernama Meunasah Puteh.


Bu Prang adalah keakraban. dalam suasana riuh warung kopi, Bu Prang hadir tidak lagi sebagai logistik perang. namun, untuk penopang logika dalam diskusi warung kopi yang wacananya dibahas hingga malam larut.

Kami yakin, di Ballroom de witte, veteran Marsose sedang tidak membahas bagaimana malunya mereka mengenang kekalahan mesin perang kerajaan Belanda kala itu. mereka murni menikmati kuliner Aceh sebagai penanda bahwa mereka tidak seratus persen kalah. toh, mereka masih bisa bersulang walau dengan sisa pasukan seminim-minimnya.

Hari ini, kita, bangsa Aceh bisa terkekeh mendengar cantiknya tipuan Teuku Umar, Kohler yang mati sia-sia setelah bermil-mil mengarungi samudera. hanya mati dengan satu timah panas .

Namun demikian, Bu Prang secara penamaannya hendak mempertegas kembali bahwa perang di Aceh menjadi rutinitas. tak ubahnya menunggu makan siang setelah Bu Beungoh baru siap disantap.Perang datang dan pergi tak ubah Bus antar kota antar provinsi. Aceh adalah terminal perang paling sibuk berabad-abad lamanya. Marsose, Gurkha hingga Kopasus pernah singgah di sini dengan jantung berdegup kencang.

Hari ini, kita tak lagi menikmati parahnya perang. kita tinggal ongkang-ongkang kaki di meja kopi dengan berbungkus-bungkus rokok dan Nasi. Bu Prang kita nikmati tak lagi dalam keadaan was-was. persis veteran Marsose di Ballroom De Witte mengenang kekalahan dengan kuliner jajahan yang diam-diam menggoda selera. Cilaka!

1 komentar: