"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Jumat, 21 Agustus 2015

Doc. Photo: Putra Hidayatullah
Oleh Putra Hidayatullah

Teman, saya tidak sedang mengiklankan baju. Saya hanya senang bercerita. Tiga belas tahun yang lalu, saya masih bersekolah, kelas 2 MTsN. Jarak dari kampung saya ke sekolah sekitar 4 kilometer. Dari Simpang Tiro, untuk sampai di sekolah, kami harus berjalan kaki sekitar 200 meter dan harus melewati kantor polisi.

Di depan kantor polisi disusun drum minyak yang membuat setiap kenderaan lewat harus memelankan laju dan berkelok sempurna agar tidak menabrak drum. Di bulan-bulan sebelumnya, kantor polisi itu telah beberapa kali dilempar bom oleh orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu setiap lewat di sana saya sesekali merasa was-was.

Dan salah satu yang menyita perhatian saya waktu itu adalah truk pengangkut barang yang pulang dari Medan, Sumatera Utara. Truk itu berwarna cokelat dan selalu terlihat berdebu. Kami menyebutnya truk fuso. Setiap truk fuso lewat saya melihat mereka harus berhenti. Lalu salah seorang polisi sambil memanggul senjata lars panjang di bahu mendekati mereka. Si sopir menyerahkan sejumlah uang, terkadang dengan wajah murung dan senyum yang dibuat-buat.

Pemandangan itu tidak hanya terjadi di kantor polisi itu. Ketika saya duduk di atas motor dibonceng oleh ibu menuju kota Sigli, Pidie, saya juga melihat hal serupa di beberapa kantor polisi lain. Setiap ada truk lewat, sopirnya harus memberikan sejumlah uang. Entah kenapa saya merasa kasihan. Saya bertanya kepada diri sendiri berapa uang yang diperoleh oleh si sopir setiap hari dan berapa yang harus mereka setor ke setiap kantor polisi yang mereka lewati dan berapa sisa yang mereka bawa pulang ke rumah.

Seseorang telah berbisik ke telinga saya bahwa itu pungli alias pungutan liar. Kemudian di hari yang lain, tidak jauh dari kantor polisi dekat sekolah kami itu, saya tiba-tiba melihat sebuah spanduk yang ditempel oleh polisi pada sebuah pagar, “Pelaku Pungli Adalah Musuh Negara.” Tapi, sementara spanduk itu mereka tempel, pungli itu terus mereka lakukan.

Kini satu dekade lebih telah berlalu. Kemarin saya ke Geulanceng Kanot Bu untuk membeli baju ini. Ketika melihatnya, saya teringat pada apa yang saya lihat 13 tahun lalu itu. Melihat bagaimana suatu ketika alat Negara memperlakukan warga Negaranya.

Teman, saya tidak sedang mengiklankan baju. Tapi beginilah gambar ini bekerja dalam diri saya, menyelamatkan memori saya. Barangkali begitulah seharusnya kesenian bekerja; ia harus menjadi gegen das vergessen, menjadi sesuatu yang mengusik ingatan bersama.[]

1 komentar: