Doc. Photo: Putra Hidayatullah |
Teman,
saya tidak sedang mengiklankan baju. Saya hanya senang bercerita. Tiga
belas tahun yang lalu, saya masih bersekolah, kelas 2 MTsN. Jarak dari
kampung saya ke sekolah sekitar 4 kilometer. Dari Simpang Tiro, untuk
sampai di sekolah, kami harus berjalan kaki sekitar 200 meter dan harus
melewati kantor polisi.
Di depan kantor polisi disusun drum minyak yang membuat setiap kenderaan lewat harus memelankan laju dan berkelok sempurna agar tidak menabrak drum. Di bulan-bulan sebelumnya, kantor polisi itu telah beberapa kali dilempar bom oleh orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu setiap lewat di sana saya sesekali merasa was-was.
Dan salah satu yang menyita perhatian saya waktu itu adalah truk pengangkut barang yang pulang dari Medan, Sumatera Utara. Truk itu berwarna cokelat dan selalu terlihat berdebu. Kami menyebutnya truk fuso. Setiap truk fuso lewat saya melihat mereka harus berhenti. Lalu salah seorang polisi sambil memanggul senjata lars panjang di bahu mendekati mereka. Si sopir menyerahkan sejumlah uang, terkadang dengan wajah murung dan senyum yang dibuat-buat.
Pemandangan itu tidak hanya terjadi di kantor polisi itu. Ketika saya duduk di atas motor dibonceng oleh ibu menuju kota Sigli, Pidie, saya juga melihat hal serupa di beberapa kantor polisi lain. Setiap ada truk lewat, sopirnya harus memberikan sejumlah uang. Entah kenapa saya merasa kasihan. Saya bertanya kepada diri sendiri berapa uang yang diperoleh oleh si sopir setiap hari dan berapa yang harus mereka setor ke setiap kantor polisi yang mereka lewati dan berapa sisa yang mereka bawa pulang ke rumah.
Seseorang telah berbisik ke telinga saya bahwa itu pungli alias pungutan liar. Kemudian di hari yang lain, tidak jauh dari kantor polisi dekat sekolah kami itu, saya tiba-tiba melihat sebuah spanduk yang ditempel oleh polisi pada sebuah pagar, “Pelaku Pungli Adalah Musuh Negara.” Tapi, sementara spanduk itu mereka tempel, pungli itu terus mereka lakukan.
Kini satu dekade lebih telah berlalu. Kemarin saya ke Geulanceng Kanot Bu untuk membeli baju ini. Ketika melihatnya, saya teringat pada apa yang saya lihat 13 tahun lalu itu. Melihat bagaimana suatu ketika alat Negara memperlakukan warga Negaranya.
Teman, saya tidak sedang mengiklankan baju. Tapi beginilah gambar ini bekerja dalam diri saya, menyelamatkan memori saya. Barangkali begitulah seharusnya kesenian bekerja; ia harus menjadi gegen das vergessen, menjadi sesuatu yang mengusik ingatan bersama.[]
Di depan kantor polisi disusun drum minyak yang membuat setiap kenderaan lewat harus memelankan laju dan berkelok sempurna agar tidak menabrak drum. Di bulan-bulan sebelumnya, kantor polisi itu telah beberapa kali dilempar bom oleh orang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu setiap lewat di sana saya sesekali merasa was-was.
Dan salah satu yang menyita perhatian saya waktu itu adalah truk pengangkut barang yang pulang dari Medan, Sumatera Utara. Truk itu berwarna cokelat dan selalu terlihat berdebu. Kami menyebutnya truk fuso. Setiap truk fuso lewat saya melihat mereka harus berhenti. Lalu salah seorang polisi sambil memanggul senjata lars panjang di bahu mendekati mereka. Si sopir menyerahkan sejumlah uang, terkadang dengan wajah murung dan senyum yang dibuat-buat.
Pemandangan itu tidak hanya terjadi di kantor polisi itu. Ketika saya duduk di atas motor dibonceng oleh ibu menuju kota Sigli, Pidie, saya juga melihat hal serupa di beberapa kantor polisi lain. Setiap ada truk lewat, sopirnya harus memberikan sejumlah uang. Entah kenapa saya merasa kasihan. Saya bertanya kepada diri sendiri berapa uang yang diperoleh oleh si sopir setiap hari dan berapa yang harus mereka setor ke setiap kantor polisi yang mereka lewati dan berapa sisa yang mereka bawa pulang ke rumah.
Seseorang telah berbisik ke telinga saya bahwa itu pungli alias pungutan liar. Kemudian di hari yang lain, tidak jauh dari kantor polisi dekat sekolah kami itu, saya tiba-tiba melihat sebuah spanduk yang ditempel oleh polisi pada sebuah pagar, “Pelaku Pungli Adalah Musuh Negara.” Tapi, sementara spanduk itu mereka tempel, pungli itu terus mereka lakukan.
Kini satu dekade lebih telah berlalu. Kemarin saya ke Geulanceng Kanot Bu untuk membeli baju ini. Ketika melihatnya, saya teringat pada apa yang saya lihat 13 tahun lalu itu. Melihat bagaimana suatu ketika alat Negara memperlakukan warga Negaranya.
Teman, saya tidak sedang mengiklankan baju. Tapi beginilah gambar ini bekerja dalam diri saya, menyelamatkan memori saya. Barangkali begitulah seharusnya kesenian bekerja; ia harus menjadi gegen das vergessen, menjadi sesuatu yang mengusik ingatan bersama.[]
Thank you, your article is very good
BalasHapusviagra asli
cialis asli
viagra jakarta
viagra asli jakarta
toko viagra jakarta
jual viagra jakarta
agen viagra jakarta
toko viagra asli
jual viagra asli
jual viagra
toko viagra
agen viagra
cialis jakarta
cialis asli jakarta
titan gel asli
titan gel jakarta
titan gel asli jakarta
viagra cod jakarta
obat viagra jakarta
obat viagra asli
viagra usa
viagra original
obat viagra
obat kuat viagra
jual cialis
toko cialis
obat cialis
obat cialis asli
obat kuat cialis
obat cialis jakarta
toko cialis jakarta
jual cialis jakarta
agen cialis jakarta
toko titan gel
jual titan gel
vitamale asli
permen soloco asli
maxman asli
vimax asli
viagra
titan gel
hammer of thor
hammer of thor asli
hammer of thor jakarta
hammer of thor asli jakarta