"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Sabtu, 18 Juni 2016

Kredit Photo: Haryadi Glanggang
Raseuki kon meuceh money, asai na ie kupi sep brat ka kaya. Rezeki tak sekadar bicara uang, secangkir kopi yang tersedia adalah pertanda betapa sejahteranya kita. Secara acak, itulah arti sederet kalimat pertama dalam bahasa Indonesia.

Taklimat di atas adalah buah pikir Idrus bin Harun yang dikembangkan oleh Ade Kurniawan dalam sebuah desain dengan tipografi berbentuk cangkir kopi. Dua orang yang disebut nama itu adalah pendiri geulanceng yang dalam kelangsungannya berproduksi, keduanya bertindak sebagai tukang gali ide dan desainer.

Pesan dari desain kaos ini barangkali jelas adanya. Dan sudah barang tentu kami merasa tidak perlu harus menjabarkan kembali tentang bagaimana hendaknya bersyukur atas setiap rezeki yang kita punyai selagi hidup di dunia. geulanceng ada tidak untuk menjadi guru mata pelajaran akhlak atawa budi pekerti.

Namun perihal memaknai raseuki (baca: rezeki) dalam artian yang sempit telah menyipitkan cara pandang orang-orang terhadap segala sesuatu yang ada di dunia. Semua hal ditilik hanya berdasar aroma finansial dan materinya belaka. Perspektif sempit itu telah menjadikan seorang politikus bekerja bak mafia. Menjadikan seorang dokter berperilaku layaknya pedagang, dan menjadikan seorang pedagang seperti rentenir dalam menjalankan bisnisnya. Sementara akademisi yang atas nama balik modal menggunakan data-data penelitian sebagai aset transaksi ilmu pengetahuan.

Memaknai rezeki hanya sebatas bagaimana bisa tertimbunnya harta berlimpah adalah penyakit. Adalah virus yang menggerogoti perilaku yang ujung-ujungnya dengan ikhlas dan sukarela, tanpa sedikit pun merasa berdosa akan menghalalkan segala cara dalam mencari rezeki itu sendiri. Wartawan dengan antusias memelintir fakta demi pesanan kepentingan. Aktivis sesekali turun ke akar rumput celingak-celinguk sana-sini untuk kemudian buru-buru terbang lagi ke lingkaran kekuasaan sambil menjajakan informasi.

Polisi, tentara, atau bahkan mantan kombatan kerap mencuri-curi kesempatan untuk sepenuhnya menjadi preman. Atau sekiranya kesempatan yang ada kurang memadai dalam 24 jam, mereka tetap menekuninya sebagai pekerjaan sampingan. Politikus dan pejabat pemerintah? Kalian tentu tahu betul perangai mereka dalam mencari nafkah untuk anak, istri, beserta kroni-kroni. Tapi yang jelas kesejahteraan rakyat adalah bahan baku mentah untuk diolah dalam rapat-rapat program pemerintah yang semuanya hanya berakhir untuk mendapatkan fee di sana-sini. 

Akhirul kalam, atas nama mita raseuki, kita tak sadar telah menjadi segerombolan bangsa pencuri yang celakanya hanya berani mencuri dalam komunal masyarakat sendiri.[]



1 komentar: