"Untuk hal-hal yang telah terpikirkan dan kemudian terlupakan, kami mengemasnya dalam desain-desain ingatan."
Minggu, 08 Maret 2015

Aceh adalah Seulawah yang menjulang. Adalah Geureudong yang mistis. Adalah Leuser yang menuding langit. Adalah Burni Telong yang dingin. Adalah Peut Sagoe yang kokoh. Juga Halimon yang berkabut.

Pada sekalian puncaknya Inong-Agam menyimbolkan diri akan cita-cita menjaga isme keacehannya yang tak pernah mau dipreteli kedaulatan harga dirinya sampai kapan pun, oleh siapa pun. Boleh jadi ini merujuk kepada sepenggal lirik lagu band indie Aceh, Amroe & Pane Band berjudul Ine-Ama:

"Inong tanom lam hate. Droe kaom hawa, nong ee, tameh nanggroe. Agam ta peukong baho. Lheuh tan le kamoe, gam ee, gulam nanggroe."

Acehisme adalah rangkuman dari usaha menjaga identitas diri. Adalah ambiguitas tali simpul dalam memaknai keacehan diri yang menyempil di antara banyak teori para pakar kala menerjemahkan Aceh dari berbagai perspektif. Ia lahir dari buah pikir kritis atas banyak tragedi yang pernah terjadi di negeri ini. Tanpa mengenyampingkan keberadaan sejarah gemilang masa lalu yang ceritanya hampir saban Jum'at diulang-ulang dalam petuah khutbah hingga pada titik tertentu kita merasa sedikit jemu. Jemu sebab masa lalu (seperti di cerita-cerita) itu kontras bertolak belakang dengan masa sekarang.

Kita pernah sepakat bahwa sejarah tersusun dari keberulangan peristiwa silam lintas waktu, generasi dan pelaku. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang memungkinkan kita bisa bercermin pada masa lalu demi menemukan tafsir baru sesuai konteks zaman. Dan Acehisme membentuk dirinya sebagai suatu paham yang jauh dari waham egosentris buta, yang dengan semena-mena selalu menepuk dada; "Nyoe keuh kamoe Aceh, bansa teuleubeh ateuh rueng donya." 

Ketika dengan sadar seseorang menyebut, "Aceh is me" atau "Acehisme" maka dengan waras pula dapat disimpulkan bahwa ia adalah seorang yang paham benar atas pelbagai skandal, koreng, dan carut-marut negeri ini sepanjang sejarah keberadaannya. Ia terbebas dari pikiran jumud sejarah kegemilangan semata tapi juga peka pada banyak kejadian yang berefek pada timbulnya duka nestapa. Ia adalah seorang yang paham bahwa di sebalik indahnya Teupin Layeu di Sabang yang tiap tahun penuh dikunjungi turis, yang keeksotisannya cocok dijadikan tempat ber-selfie ria, nun ratusan kilometer di selatannya, sebuah kampung bernama Kuala Seumayam-Nagan Raya masih belum memiliki lahan pekuburan umum sampai hari ini sebab perusahaan perkebunan sawit mengepungnya dari empat penjuru mata angin.

Aceh adalah gemuruh tetabuh Rapa'i Pasee. Adalah lengking ritmis Seureunee Kale. Adalah lamat-lamat syair anak muda meudala-e. Adalah jentik jari Syeh dan Aped dalam formasi Seudati. Adalah vokal nan merdu Ceh dan Penunung dalam Didong. Adalah meutuahnya petuah dalam Nandong. Juga serempak Saman yang menghentak. Dengan sekalian ritmenya Agam-Inong menyuarakan lugas, kiban crah-meunan bukah, tentang jati diri yang menyatu dalam setiap pribadi dan tetap menyemat hingga mati. Ia adalah seperti apa yang terdengar dalam sepenggal lirik lagu Seungkak Malam Seulanyan-sebuah band indie Aceh- berjudul Dialogia Lampoh Jeurat:

"Neuk Aceh nyoe tanoh ie, kon tanoh gob bi. Bak asai kana. Tuboh, nyawong, darah, asoe ngon tuleueng, pangkai peu theun maruah bangsa."

Acehisme adalah kesadaran memandang Aceh secara penuh. Utuh-menyeluruh.[] 

1 komentar: